Sesungguhnya berat untuk menulis tentang ini. Sebab, bagaimanapun juga, saya bukan apa-apa, dari segi pengetahuan, juga pengalaman. Melainkan, apabila ini terus berlangsung, maka akhirnya bisa jadi kecelakaan paling fatal yang saya alami juga mahasiswa lain secara terus menerus.
Oke. Daripada berlama-lama, hakekatnya, saya hanya berkeinginan memperkenalkan slot kakek tua keluh kesah, terhadap tenaga pengajar yang ada di kampus. Semoga tidak banyak.
Keluh kesah ini, berangkat dari rasa kecewa terhadap apa yang saya alami di dalam kelas. Saking kecewanya, saya memilih untuk tidak melanjutkan kelas bersama beliau. Tentu, dengan kemauan saya bisa mengganti kelas yang akan saya masuki kelak. Tetapi, tata tertib kampus tidak membiarkan kemauan saya. Tidak apa. Saya tabah, nan sabar, Baginda!
Lantas, bagaimana kekecewaan itu terjadi? Saya kasih sederhana saja, yha. Ibaratnya, seperti ini, kamerad-kameradku sekalian:
Di dalam kelas, ada seorang tenaga pengajar yang berkeinginan memberi pengetahuan bagaimana cara mendapatkan angka dua puluh. Caranya, dengan mengajarkan sepuluh ditambah sepuluh. Jelas, akhirnya angka dua puluh.
Lalu, apakah itu sebabnya saya kecewa? Tahan dulu, kamerad. Jawaban tenaga pengajar hal yang demikian benar. Sangat benar. Masa iya, saya kecewa terhadap kebenaran pengetahuan. Hehe. Saya itu kecewa, karena beliau menolak usul dari saya.
Masukan saya, waktu itu kepada beliau, untuk mendapatkan hasil angka dua puluh, bisa dengan cara, lima dikali empat. Benar bukan? Tentu benar. Lima dikali empat, akhirnya yakni dua puluh. Melainkan ditolak. Saya bersiteguh terhadap usulan saya. Karena itu juga hal yang benar. Tetapi beliau tetap menolak.
Setelah dari situ, saya tak berkeinginan memasuki kelasnya lagi. Isi kepala juga hati saya, selalu mengatakan, apabila beliau yakni tenaga pengajar yang anti kritik. Berat rasanya menimba pengetahuan dengan orang-orang seperti itu. Melainkan, kalau saya bersikap demikian, tentu saya semestinya menerima konsekuensinya. Apa itu? Yha, mendapatkan skor E (eror). Jelas. Karena, tidak pernah masuk kelasnya (lagi).
Melainkan sekali lagi. Kalau, hal yang ‘kecil’ ini terus berlangsung, menurut saya, tentu ini seperti gemar memanjakan diri pada jebakan yang sama. Bisa jadi, ini celaka yang paling fatal yang saya alami, juga mahasiswa lainnya secara terus menerus.
Ambil mata kuliah buta-buta-tidak masuk kelas karena tenaga pengajarnya anti kritik-mendapatkan skor eror. Sederhana, melainkan buang-buang waktu, pikiran, juga fulus.
Saya tidak ingin sesederhana seperti di atas lagi. Selain malu karena di penghujung semester, saya juga memikirkan nasib saya kelak. Masa iya seperti itu terus. Saya bosan mendengar kawan-kawan, orang tua, selalu bilang: “yah ikuti mi saja, ikhlaskan mi, masuk kelas, jangan banyak bicara, kerja tugas, aman mi itu nilaimu.”
Maaf-maaf saja , ibu, bapak, tante, om, kakek, nenek, juga siapa saja, kuliah semestinya, yang paling slot garansi 100 penting yakni mendapatkan pengetahuan, bukan mendapatkan skor A atau B.
Oke, saya boleh dapat skor A atau B. Tetapi, bagaimana nasib saya kelak, apabila saya hanya tahu sepuluh tambah sepuluh sama dengan dua puluh? Bagaimana nasib saya, apabila bila saya tidak pernah tahu, lima dikali empat akhirnya sama dengan dua puluh? Aneh, ? Masa iya, mahasiswa di penghujung semester cuma tahu, sepuluh tambah sepuluh untuk mendapatkan angka dua puluh. Apakah kelak, pihak kampus akan menerima, saya menjawab pertanyaan-pertanyaan hal yang demikian dengan mengatakan: ” ini seluruh yang dididik dalam kelas, kongkritnya, skor-nilaiku A dan B.”
Jadi, karena saya sudah lama menampung seluruh keluhan di atas, saya itu tidak semerta-merta mengeluh saja. Saya ikut serta memikirkan apa yang semestinya dibuat oleh pihak kampus. Melainkan ini hanya kemauan saya saja . Kalau keliatannya mudah, yah lakukan. Melainkan kalo keliatannya susah, yah cari cara biar mudah.
Jadi demikian ini, sederhana saja. Pada saat mahasiswa memilih mata kuliah yang akan dipelajari, ada bagusnya, pihak kampus juga menulis nama tenaga pengajar pada lembaran kertas pilihan mata kuliah hal yang demikian. Jadi kita tahu, kepada siapa kita berkeinginan belajar.
Usulan ini, paling tidak meminimalisir pengulangan terhadap mata kuliah yang diambil. Jujur saja, ada orang yang lebih mengeluh daripada saya, sebab orang hal yang demikian mengulang mata kuliah hingga tiga kali. Ketika saya tanya mengapa sebanyak itu, ternyata jawabannya sama dengan keluhanku itu.
Tetapi bukan tentang seberapa banyak pengetahuan yang saya–juga mahasiswa lainnya temukan di dalam kelas. Juga, bukan tentang berapa banyak fulus yang diberi ke kampus. Melainkan, tenaga pengajar yang tak berkeinginan menerima pendapat, bahkan pendapat yang benar, sebaiknya semestinya dipertimbangkan oleh pihak kampus. Ingat, dipertimbangkan. Jadi tentu masih ada kesempatan.
Sebagai penutup, saya ingin bilang, semangat mahasiswa mendapatkan slot bet kecil pengetahuan dari dalam kelas itu sangat tinggi nan luas. Lebih tinggi dibanding, gedung kampus, juga lebih luas dibanding lapangan yang ada di kampus.
Eh lupa tidak ada lapangan di kampus. Salam olahraga!